Semangat Baru


SEMANGAT BARU
Oleh  : Siti Maisaroh
Inspirasi : Pengalaman seseorang

Semangat Baru

                Dipagi ini mentari malu-malu menampakkan sinarnya. Awan-awan hitam menutupi senyum sang surya. Rintik-rintik hujan mulai berjatuhan. Lama-kelamaan rintikan itu semakin deras, hujanpun turun mengguyur kota Solo dan sekitarnya. Jalanan dikota Solo terasa dingin namun segar, sawah-sawah yang membentang luas didesaku terlihat begitu indah. Pohon-pohon dan rerumputan menari bahagia. Hujan hari ini membawa berkah bagi seluruh masyarakat kota Solo Karena musim kemarau panjang selama empat bulan ini, banyak para petani rugi akibat harga gabah yang merosot. Tak hanya tumbuhan yang mati kekeringan saat itu, tapi manusia juga seperti pasir yang kering dipadang arafah yang sama sekali tak ada air. Aku bahagia hari ini, dan semua orang juga bahagia. Aku bergegas menuju kesekolah sebelum terlambat. Perjalananku lumayan jauh sekitar setengah kilometer dari rumahku. Aku melewati lorong-lorong perkampungan yang masih digenangi air hujan. Semangatku membawaku untuk terus meraih cita-citaku.
            Kicauan burung dipepohonan meramaikan perjalananku kesekolah. Langkah kakiku mulai cepat, karena takut terlambat. Tak butuh waktu lama bagiku menuju sekolah, perjalanan dapat aku tempuh selama 15 menit. Tepat ketika aku berada didepan gerbang sekolah bel berdering. Aku berlari menuju ruang kelas. Tak lama kemudian, wali kelasku datang. “ Anak-anak, kalian sudah memberi tahu orang tua kalian kalau hari ini pembagian raport?” kata Pak Kasim. Beliau adalah wali kelasku, dan menakutkan bagi teman-temanku tapi tidak bagiku. Aku sudah kebal bila dimarahi oleh Pak Kasim. “ Angga! Kamu sudah beritahu abahmu.” Pak Kasim mengetesku dengan nada garangnya. “ Sudah pak. Tapi abah tidak bisa hadir hari ini karena ada rapat dikabupaten katanya. Mungkin besok pak.” Jawabku tenang. Namun tatapan Pak Kasim tak beralih dari pandanganku. Sepertinya beliau curiga kalau aku sedang berbohong.
            Abahku adalah seorang guru. Beliau kepala sekolah di SD tempat adikku bersekolah saat ini. Beliau adalah orang tua yang paling sibuk bagi anak-anaknya. Beliau selalu mengajarkan kedisiplinan yang tinggi untukku dan ketiga saudaraku yang lain. Beliau adalah orang tua yang sangat hebat, aku bangga pada semangat abah. Aku anak ketiga dari empat bersaudara. Kakak tertuaku sekarang menetap di ibu kota, Jakarta. Kebetulan isterinya asli dari Jakarta dan juga kuliah di Jakarta. Kakak perempuanku yang nomer dua juga kuliah di Jakarta. Dia kuliah difakultas kedokteran universitas Indonesia. Bulan depan sudah mau sarjana, dan akan mendapat gelar dokter muda UI. Sepulang sekolah aku mengatakan semua peristiwa yang aku alami disekolah hari ini kepada umi. Dan umi hanya tersenyum mendengar ceritaku, kalau aku berbohong kepada wali kelasku demi menyelamatkan diri. Umi adalah seorang ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya. Dan diantara ketiga saudaraku, akulah yang paling dekat dengan umi. Entah kenapa sikap umi seperti berbeda padaku dari pada ketiga saudaraku. Mungkin karena aku yang terlalu nakal dan susah diatur. Aku dan adikku, umur kami hanya selisih lima tahun. Sekarang adikku kelas 5 SD, dan aku masih kelas 2 SMP. Penyebabnya, waktu SD aku pernah tidak naik kelas satu kali dikelas 4. Dan di SMP aku juga pernah tidak naik kelas waktu kelas 2 SMP.
            Pagi ini aku dan umi akan kesekolah untuk mengambil raportku. Umi mengayuh sepeda dengan cepat sekali. Kami tiba disekolah dalam waktu kurang dari 15 menit. Lalu kami menuju keruang guru untuk mengambil raportku. Kami disambut baik oleh Pak Kasim, katanya umi adalah teman lama guruku ini. Tanpa basa-basi beliau langsung memeberikan raportku kepada umi, dan setelah itu kami diizinkan pulang. Hatiku berdebar-debar, rasa penasaran dan ketakutan mulai menghantui fikiranku saat ini. Aku tak bisa bayangkan seperti apa reaksi abah nanti setelah melihat nilai-nilai ujianku diraport. Dan ternyata, “ Kamu hebat sekali le. Nilaimu bagus sekali hingga dapat ranking tiga dari bawah.” Kata abah sambil tersenyum padaku dan umi. Gelak tawa umi dan abah mulai beradu karena melihat hasil ujianku. Tawa mereka menggelegar memekakkan telingaku. Aku dan adikku tidak bisa untuk tidak tertawa.
            Seminggu, sebulan, setahun, kini sudah berlalu. Aku lulus SMP, dan abah mengirimku kekota Yogyakarta untuk belajar dengan baik disini. Tak ada kerabat ataupun teman, aku tinggal sebatang kara di kost an. Selama 5 bulan ini aku tinggal di Jogja, tak satupun dari pesan abah yang bisa aku wujudkan. “ Kamu harus berubah ya le, gak boleh bandel lagi, gak boleh main-main, waktu pulang ya pulang. Sekarang kamu sudah SMA, dan ingat kamu harus dapat ranking satu dikelas. Kalau tidak, kamu tidak akan abah ijinkan pulang kesolo. Kamu harus ingat kata-kata abah berusan.” Kata abah waktu mengantarku kekota Gudeg ini. Aku menangis setelah ditinggal abah waktu itu. Selama dua hari aku tidak bisa tidur lelap. Selalu teringat wajah umi, abah, dan adikku, si Andi. Tapi demi cita-citaku untuk abah, maka aku berhasil bangun dari keterpurukanku. Jangankan mendapat ranking satu dikelas, disekolah, kabupaten, bahkan ditingkat nasionalpun akan kuraih untukmu, abah. Itu tekad seorang Angga yang sangat labil pada saat itu. Siang malam aku belajar mati-matian demi mewujudkan keinginan abah. Aku bisa, aku harus berubah. Abah menyayangiku, maka dari itu beliau mengasingkanku disini. Itu kata-kata yang selalu terlintas dibenakku ketika aku merasa bosan karena harus belajar, belajar dan belajar terus menerus.
            Dikelas 2 aku berhasil mendapatkan ranking pertama dikelas. Nilaiku paling baik dari teman-temanku. Namun, sainganku berhasil menjatuhkanku ketika semester pertama dikelas 3. Namanya Resti, keturunan Batak yang tinggal dikota Jogja, demi mengabdi pada negara. Ayahnya seorang polisi, dan ibunya seorang dokter. Resti sangat pintar sekali dalam pelajaran matematika. Tapi hal itu tidak menciutkan semangatku. Tiap detik, menit, jam, bahkan tiap hari aku selalu berlatih menghitung soal-soal matematika. Hingga pada akhirnya diujian nasional aku mendapatkan ranking pertama di seluruh provinsi Jawa Tengah ini. Namaku terteran disurat kabar, televisi, dan juga diinternet. Abah sangat bangga padaku, begitu juga dengan umi. Karena dari ketiga saudaraku yang sudah pernah SMA, tidak ada yang mendapatkan peringkat setinggi itu untuk ujian nasioanl. Paling tinggi hanya dapat peringkat pertama atau kedua disekolah. Aku sangat berterima kasih kepada Resti, gadis cantik yang berhasil membakar semangatku untuk selalu belajar dan berlatih. “ Terima kasih resti. Kau sangat berjasa bagi kehidupanku. Aku tak akan melupakan jasamu ini.” kataku ketika diacara perpisahan kelas 3, diaula sekolah. “ Aku senang kau bisa sehebat itu angga, aku sangat bangga memiliki teman sepertimu. Kita sportif kan dalam persaingan ini. Berkat dirimu pula aku mendapat ranking pertama dikabupaten. Jasamu sangat besar angga, kau pahlawanku.” Kata Resti sambil menebar senyum indah diwajahnya. Oh Tuhan, jantungku tak karuan rasanya ketika mendengar kata pahlawan terlontar dari bibir manis putri seorang jendral yang berketurunan Batak itu.
            Pada saat kuliah, aku dan Resti tidak satu sekolah lagi. Aku kuliah di UGM  Yogyakarta, sedangkan Resti kuliahnya keluar negeri. Ayahnya ingin dia bisa mendapatkan pengalaman baru disekolah barunya. Tak apalah, mungkin sudah takdirnya bisa merasakan enaknya naik peswat. Aku mengambil jurusan matematika UGM. Sebenarnya abah menentang pilihanku ini, abah menyuruhku untuk mengambil jurusan arsitektur UGM. Entah kenapa aku lebih suka dengan matematika. Aku sangat berani melompat kedalam jurang. Abah tidak setuju dan marah besar padaku karena tidak menuruti beliau. “ Sudah kuduga. Memang dari ketiga saudaramu, hanya kau yang paling susah diatur angga.tidak seperti kakak-kakakmu yang nurut sama apa yang diperintahkan abah. Lihat mereka sekarang, semuanya sukses dan hidupnya sejahtera. Ari, kakakmu adalah sarjana teknik kimia UI dan sekarang kerjanya dibadan tenaga atom nasional. Dan ani. Kakak keduamu, sekarang sudah pindah ke Kuala Lumpur ikut suaminya yang juga seorang dokter. Sementara kau, mau jadi apa kau nanti. Aku sungguh heran dengan sifat keras kepalamu itu.” Kata abah padaku waktu aku pulang ke Solo. Wajah beliau merah padam seperti seorang prajurit hendak bertempur dimedan perang. “ Abah. Angga tidak ada niat untuk membangkang, tapi angga ingin bebas menentukan plihan angga sendiri. Dan matematika adalah pilihan angga saat ini. Abah tak perlu khawatir bagaimana dan seperti apa angga setelah sarjana nanti. Yang pasti, abah doakan supaya angga selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat sehingga bisa berguna bagi masa depan angga. Angga kemari untuk meminta doa restu dari umi dan abah. Restuilah pilah angga abah.” Aku coba merayu abah dengan kata-kata menisku itu. “ Umi merestui pilihanmu nak, semoga kau selalu diberkati oleh Allah. Abah, sudahlah biarkan saja angga memilih apa yang menurutnya baik baginya dan masa depannya.” Umi juga ikut meyakinkan abah. Dan akhirnya, “ Baiklah, abah merestui pilihanmu. Tapi satu hal yang perlu kamu ingat, berani mengambil tindakan maka harus berani pula menerima resikonya. Kamu harus konsisten dengan pilihanmu.” Kata abah. Lalu beliau meninggalkan ruang keluarga dan duduk manis diteras sambil membaca Koran. Restu abah dan umi telah kudapatkan, kini saatnya aku kembali ke Jogja.
            Hari-hariku sebagai mahasiswa baru dikampus telah berakhir, dan kini aku telah menjadi senior bagi adik-adik kelasku yang masih baru. Aku harus menjadi contoh dan teladan yang baik bagi mereka. Tak terasa sudah semester akhir. Empat tahun aku kuliah disini, tak ada satupun wanita yang bisa mencuri hatiku. Kuakui mereka semua cantik dan pintar. Tapi dihatiku masih terukir nama seseorang yang menjadi penyemangat hidupku. Dia wanita tercantik nomor dua setelah ibuku. Bagaimana kabarnya saat ini? seperti apa dia saat ini? sudahkah memiliki calon pendamping? pertanyaan-pertanyaan itu membuatku semakin merindukannya. Aku hanya bisa memandangi fotonya di album SMA kami dulu. “ Hei ga? Kamu ngapain duduk sendirian disini?” kata Diki sambil berusaha untuk menengok apa yang sedang kulihat. Dia adalah sahabatku dari SMA, satu kost denganku. Dia tahu jelas semua rahasiaku. “ Kan aku sukanya sendiri. Kenapa harus kaget sama aku.” Jawabku. “ itu apaan sih.” Katanya sambil melongoh-longoh. “ct ct ct… menyedihkan sekali kamu ini. Aku tahu kok, tanpa kamu sembunyikan juga sudah bisa aku tebak kalau itu album waktu SMA. Iya kan? Kenapa gak kamu tembak aja dia ga. Kalau kelamaan nanti diambil yang lain loh.” Goda Diki padaku. Aku sama sekali tak terpengaruh oleh godaannya itu. Sama sekali tidak lucu. Tak terasa minggu depan aku akan menjadi sarjana muda. Dan aku sudah ditawari oleh dosenku untuk melanjutkan study S2 ku ke Inggris. Tapi aku masih ragu-ragu dengan tawaran dosenku itu. Aku takut kalau abah dan umi melarangku pergi jauh-jauh, apalagi keluar negeri. Itu sangat mustahil bagiku, mustahil untuk mendapat restu orang tuaku. Apalagi saat ini adikku tak tinggal dengan mereka, karena kuliahnya di Surabaya. Jadi pada waktu penobatanku sebagai sarjana, aku langsung meminta izin dari abah dan umi untuk melanjutkan study keluar negeri. Tak kusangka, abah dan umi menyetujui pilihanku lagi kali ini. Abah tak bisa lagi menolak pilihanku, karena beliau tahu apa yang terbaik bagiku. Terlebih lagi, diusia beliau yang sudah tidak muda ini lagi, beliau tidak bisa mengeluarkan seluruh tenanganya untuk memarahiku seperti dulu waktu masih muda. Abah juga sudah tahu, walaupun dimarahi aku tidak akan pernah merubah pendirianku. Karena bagiku, pendidikan adalah bahtera menuju pulau kebahagiaan. Pendidikan juga tak pandang bulu. Tua-muda, kaya-miskin, dan pria-wanita perlu untuk mendapat pendidikan yang layak.
            Pada bulan Appril tahun 1990, aku terbang ke Inggris. Dari Indonesia melewati Turki, Jerman, Belanda, dan tiba di Inggris. Dan disanalah aku menimba ilmu serta bertemu kembali dengan seseorang yang sangat aku harapkan untuk kutemui. Siapakah dia? Itu adalah rahasia. Yang pasti dia adalah orang yang sudah menyemangatiku dalam menimba ilmu. Dia yang saat ini adalah isteriku. Dan dari pernikahan kami, kami dikaruniahi 3 orang anak. Yang pertama namanya Ana, yang kedua Fahbi, dan yang ketiga adalah Farhan. Ketiga-tiganya kini telah dewasa dan telah berkeluarga. Aku tak pernah marah pada anak-anakku. Aku sangat menyayangi mereka, dan aku tidak ingin hidup mereka sama sepertiku dulu. Karena anakku adalah buah hatiku. Mereka penyemangat hidupku.
SELESAI…

Petiklah hikmah dari cerpen ini guys.. :)
Previous
Next Post »
Dilarang memberikan alamat atau link aktif.Terima kasih komentarnya