Assalammualaikum.. :) helo guys sekrang admin mau membahas tentang kota Lumajang.Dimana saat ini admin tinggal :D .Walaupun ini tidak bisa disebut kota karena hanya kabupaten kecil saja.Tapi di Lumajang kita dapat menemukan banyak barang-barang bersejarah. Oke nih ada beberapa buktinya.. chek it out.
- Monumen Serangan Umum Pasirian.
Berada di Joho, Pasirian. Kisah berdirinya monumen ini bermula pada tanggal 11 Januari 1949 pasukan Merah Putih menyerang markas pasukan Belanda di Pasirian atas komando dari Batalyon Ketunggeng. Saat itu disepakati serangan umum Pasirian secara dari 4 peleton dan 3 kompi serta bantuan dari Detasemen CPM (Corp Polisi Militer) 613. Pleton Abdul Jalal dari Kompi Kompi Kyai Ilyas menyerang dari arah barat. Peleton Harsudoyo dari Kompi Harsudoyo dari Kompi Slamet Wardoyo dari arah barat daya. Peleton Maksum dari Kompi Soekertijo menyerang dari arah selatan, sedangkan Pasukan CPM, pimpinan Amir Supardi dari arah timur (Ampung Joho). Gerakan Pasukan CPM sangat naas, karena telah diketahui oleh Belanda. Sehingga Belanda menambah pasukan dalam jumlah besar yang dikirim menggunakan gerbong kereta api pengangkut tebu. Sementara pasukan CPM berada dekat rel kereta api, pertempuran pun terjadi dengan sangat tidak seimbang. Sebanyak 27 anggota CPM gurur dan lokasi gugurnya pasukan CPM itulah yang kemudian dijadikan tempat berdirinya Monumen Serangan Umum Pasirian.
Monumen PETA
Berlokasi di Desa Condro, Pasirian. Monumen ini mengisahkan kala pasukan PETA (Pembela Tanah Air) di Lumajang dikumpulkan Jepang tanggal 16 Agustus 1945. Jepang memerintahkan agar semua senjata pasukan Peta mengumpulkan senjatanya di Gudang. Lantas, pemimpin pasukan jepang mengatakan bahwa dalam waktu dekat Indonesia akan menerima kemerdekaan, dan sebagian perwira pasukan jepang menyatakan bahwa perang Asia Timur Raya telah berakhir. Selanjutnya pasukan PETA diperbolehkan meninggalkan pasukannya dan kembali ke rumah masing-masing. Secara tidak langsung, saat itu Jepang membubarkan PETA, dan menjadi awal terbentuknya pasukan BKR.
Monumen Joeang Tugu Pahlawan
Diresmikan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan berlokasi di ujung Jalan Sastrodikoro (dulu Jalan Taman Bahagia)/ pertigaan Gladak Abang, Citrodiawangsan, Lumajang. Bentuk Monumen Geometrik Figuratif seorang prajurit yang memegang perisai yang bersenjatakan Bambu Runcing (Tombak). Sampai kini belum diketahui pencipta atau arsitek tugu tersebut. Hal yang pasti bahwa monumen Tugu Pahlawan ini dibangun pada masa Bupati M. Sastrodikoro (1948-1959).
Monumen Kapten Kyai ilyas
Berlokasi di tengah persawahan di Desa Banjarwaru, Kecamatan Lumajang. Monumen ini menandai ketangguhan perjuangan Kapten Kyai Ilyas. Kyai Ilyas memiliki pasukan yang tangguh yang disebut Hizbullah, tapi oleh Belanda pasukan ini dijuluki Anjing Bolah. Tanggal 9 April 1949 Kyai Ilyas sempat memasuki Desa Boreng, Lumajang. Dan pada saat Agresi Belanda II, kapten Kyai Ilyas yang telah mengikuti pelatihan Militer di Malang kembali ke Lumajang menempati Dukuh Ledok, Banjarwaru selama seminggu. Belanda mengetahui hal itu dan mencoba mengepung. Saat memasuki Desa Babakan, pasukan Belanda sempat di hadang oleh satu regu pasukan Muchtar, anggota pasukan Kompi Kyai Ilyas. Namun kekuatan tidak seimbang, pasukan Mochtar kewalahan dan sebagian terluka parah. Mendengar kejadian tersebut, pasukan Kyai Ilyas di Banjarwaru akhirnya disiagakan. Hanya ada satu pilhan, yakni bertempur. Pada saat pertempuran, Kyai Ilyas berhasil menembak mati seorang tentara Belanda. Naas bagi Kyai Ilyas, karena saat hendak merampas senjata tentara Belanda yang mati tersebut, dari belakang tiba-tiba muncul tentara KNIL dan menembak Kyai Ilyas hingga terluka cukup parah. Kyai Ilyas gagal diselamatkan, dan akhirnya gugur dalam pertempuran tersebut. Sebelum meninggal dunia Kyai Ilyas kepada pasukan yang mencoba menyelamatkannya sempat berpesan. Berjuang terus, lawanlah musuh-musuhmu yang sekarang ada disekitarmu. Lailahailallah…Muahammadarrasulullah, demikian amanah terakhir Kyai Ilyas.
Monumen Kompi Slamet Wardoyo
Berlokasi di pertigaan Desa Sumbermujur, Candipuro. Memasuki perang kemerdekaan II, 13 Desember 1948 koordinasi militer dimantapkan kembali dengan membagi wilayah gerilya menjadi 2 sub sektor kekuatan, yang dikendalikan Komando Batalyon di Jabon Pasrujambe. Kedua sub sektor tersebut adalah : Subsektor I dipimpin Komando Kapten Slamet Wardoyo, meliputi Kompi II dipimpin Kamari Sampurno, Kompi III dipimpin Maksum dan Pasukan Trunojoyo dipimpin Abdul Muchni. Sedangkan Sub Sektor II dipimpin langsung Letnan Satu Soekertijo dengan 2 Kompi, Kompi I dipimpin Soekertijo dan Kompi II dipimpin Abdul Jalal. Dalam Agresi Belanda II, Desa Penanggal dan sekitarnya termasuk Desa Sumbermujur menjadi basis pertahanan Merah Putih. Di wilayah inilah, Kapten Slamet Wardoyo memiliki peran penting dalam pengendalian gerilya. Bahkan pernah hampir tiga hari tiga malam, Desa Penanggal dihujani mortir dan meriam. Termasuk serangan darat yang dilakukan Belanda dari berbagai arah, mulai dair Candipuro, Gunung Sawur Pasirian, Tempeh dan Senduro. Meskipun tiga hari digempur, namun tidak ada korban jiwa dari pihak tentara dan warga setempat. Untuk melakukan aksi balasan, pasukan Kapten Slamet Wardoyo dibantu pasukan Sumbernyowo bergerak melintasi pasukan pegunungan dan hutan. Taktik Perang yang digunakan adalah bersembunyi saat diserang, namun membalas saat belanda bersembunyi menyerang. Mereka melakukan penghadangan saat iring-iringan pasukan Belanda pulang dari pertempuran. Pada saat pasukan Belanda pulang meninggalkan Penanggal, pasukan TNI dan pejuang rakyat melakukan penghadangan dijalan tikungan atau berdekatan dengan batu-batu besar dipinggir sungai Kali Mujur. Di saat Belanda yang kelelahan dan letih setelah bertempur, banyak tentara Belanda yang tewas tertembak, ditikam dan dibantai. Senjata pasukan Belanda dirampas dan jeep-jeep dihancurkan.
Monumen Jembatan Gladak Perak
Berlokasi di Dusun Kaliurang, Pronojiwo. Setelah tahun 1925, Pemerintah Hindia Belanda memandang perlu membangun jembatan untuk menghubungkan jalur sebelah timur dan tenggara Gunug Semeru. Walu sulit pembangunan jembatan ini tetap dilaksanakan dengan menggunakan peralatan sederhana, hingga banyak memakan korban pekerja yang jatuh kedalam jurang. Setelah selesai dibangun jembatan ini di cat dengan warna perak. Semenjak itulah jembatan ini terkenal dengan nama Gladak Perak. Pada masa perang kemerdekaan tahun 1947, Geladak Perak sempat diledakkan dengan dinamit oleh Zeni Pioner, hingga badan jembatan ini putus. Peledakan jembatan ini dimaksudkan untuk menghentikan pengejaran pasukan Belanda kearah Pronojiwo. Setelah usai Perang Kemerdekaan, jembatan ini dibangun kembali tahun 1951-1952. Sekarang jembatan ini tidak difungsikan lagi, karena Pemerintah Indonesia telah membangun jembatan baru di sebelah timurnya, dan Gladak Perak kini menjadi wahana wisata kaum muda juga tempat istirahat sejenak pengguna jalan jalur selatan.
Monumen BOM
Berlokasi di Pronojiwo. Monumen ini berkisah ketika Lumajang dikuasai Belanda setelah Agresi militer I (22 Juli 1947). Saat itu Bupati Lumajang (Abu Bakar ) beserta Patih Sastrodikoro dan pejabat lainnya mengungsi dan berpindah-pindah tempat. Mulai dari Penanggal sampai Dampit, Malang. Pada tanggal 17 September 1947, bertempat di Perkebunan Jagalan Pedukuhan Sumber Pitu, Ampelgading, Malang dibentuk Volk Devency Kabupaten Lumajang (VDKL). Lembaga ini perwujudan rakyat semesta Kabupaten Lumajang, bertujuan untuk menciptakan keselarasan gerak perjuangan antara pemerintah, TNI dan rakyat. Di awal tugasnya VDKL berpindah ke daerah Pronojiwo, tempat ini digunakan sebagai basis gerakan perlaawanan. Belanda mengetahui hal tersebut, lantas tiga Bom dijatuhkan dari pesawat Belanda dengan sasaran markas VDKL. Satu bom meledak di pasar Pronojiwo dan melukai banyak warga sipil, satu bom lagi meledak di dekat markas VDKL dan satu bom lagi yang tepat di halaman VDKL ternyata tidak meledak. Padahal didalam markas, Patih Sastrodikoro sedang memimpin sebuah rapat.
Monumen POLRI
Berlokasi di Desa Tumpeng Barat, Candipuro. Monumen ini berkisah pada tanggal 7 Oktober 1947 ketika kekuatan Polisi di Lumajang mulai berkurang, Batalyon Polisi (Mobrig, sekarang Brimop) di Turen Malang mengirim satu pasukan Polisi beranggoatakan 36 orang menuju daerah gerilya Lumajang. Pasukan Polisi ini di pimpin AP.1 Djamaari guna memenuhi permintaan COGVII (Comado gerilya VII). Dalam perjalan inilah AP.1 Djamaari berhasil menemukan semangat rakyat, sehingga banyak pemuda yang akhirnya bergabung dalam pasukannya hingga mencapai 56 orang. AP.1 Djamaari dikenal sebagai pemuda pemberani dan beberapa kali berhasil melakukan penyerangan terhadap pasukan Belanda. Karena itulah pasukan Djamaari menjadi incaran pasukan Belanda. Pada tanggal 9 Oktober 1947, Pasukan AP.1 Djamaari kembali ke markasnya di Desa Tumpeng. Saat beberapa hari di Tumpeng, pasukan Belanda mengethauinya. Lantas tanggal 13 Oktober 1947, Pasukan Belanda terdiri dari KNIL dan CAKRA dengan dukungan kendaraan perang mengepung pertahanan pasukan AP.1 Djamaari. AP.1 Djamaari tertembus beberapa peluru di dadanya hingga tewas. Pasukan Belanda sangat kejam, jasad AP.1 Djamaari dirusak dan dibuang disebuah parit dekat pertigaan Jalan Tumpeng.
Monumen Meleman Lautan Api
Berlokasi di Wotgalih, Yosowilangun. Pada masa kemerdekaan desa ini masih berupa dusun, terletak di sebelah barat sungai masih Bondoyudo. Tempat ini menjadi tempat pengungsian warga Jember dan Banyuwangi dengan tujuan Malang Selatan,Blitar, Madiun, dan Yogyakarta. Biasanya bermalam sebentar di dusun tersebut. Rumah-rumah penduduk Dusun Maleman kebetulan juga dihuni sementara oleh pasukan Soekertijo dan Kompi Kyai Ilyas, mereka biasa konsolidasi di dusun itu sebelum dan sesudah melakukan penyerangan terhadap pasukan Belanda di Yosowilangun dan Nogosari. Belanda mengetahui hal tersebut, lantas pada saat Agresi I, 22 Juli 1947 pasukan Belanda membakar rumah-rumah di Dusun Meleman tempat pasukan Soekartijo dan Kyai Ilyas bersembunyi. Di Utara Dusun Meleman ini tepatnya di Desa Tanjung Rejo pernah terjadi terjadi pertempuran sengit melawan Belanda yang akhirnya gugur Letnan CPM Sunardi. Sebelumnya, Kepala Desa Tanjung Rejo Rejo Titi Wardoyo ditembak mati. Jenazahnya yang dibawa ke Pos Kesehatan ikut dibakar oleh pasukan Belanda.
Monumen Bambu Runcing
Berlokasi di Desa Kalipengpung, Randuagung. Berdasarkan keterangan dari masyarakat, monumen ini dikenal dengan nama Salimin/Satimin. Kedua orang tersebut merupakan pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, yang gugur di tempat ini. Di tempat ini juga terjadi pertempuran antara kapten Suwandak dan pasukan Belanda.
Monumen Joeang Kompi Soekertijo
Berlokasi di Nogosari, Yosowilangun. Monumen ini berkisah ketika terjadi Agresi Belanda I tanggal 21 juli 1947, Letnan Satu Soekertijo sebagai komandan kompi setelah bertempur di Sidoarjo mendengar kalau Lumajang akan di duduki pasukan Belanda. Saat itulah Soekartijo beserta pasukannya langsung menuju daerah perbatasan Lumajang-Probolinggo untuk menyerbu pasukan Belanda. Sayangnya, pasukan Belanda membawa pasukan dalam jumlah sangat besar, lengkap dengan senjata modern dan mesin-mesin perang. Soekartijo beserta pasukannya mundur untuk mengatur siasat. Namun karena operasi pembersihan pasukan Belanda dilakukan sangat gencar, akhirnya Kompi Soekartijo berpindah ke Yosowilangun. Tepatnya di desa Wringinsari-Penggung. Di tempat itu kompi Soekartijo membangun basis pertahanan, namun wilayah ini cukup berat untuk gerilya, karena tidak banyak ditemui hutan dan pegunungan. Pada tanggal 29 Juli 1947, Kompi Soekartijo melakukan penyerangan di pos pertahanan Belanda di pabrik Gula Jatiroto. Melalui serangan kilat, satu regu pasukan Belanda tewas dan sejumlah senjata berhasil dirampas. Pada awal September 1947, ketika iring-iringan truk dan jeep pasukan Belanda mengadakan patroli di Nogosari, sempat dihadang oleh pasukan Soekartijo hingga banyak tentara Belanda yang tewas dan sebagian lainnya menyelamatkan diri. Dalam penyerangan itu sejumlah truk dibakar termasuk jeep pengawal pasukan Belanda. Dari satu Kompi Pasukan Belanda, sekitar satu regu tewas tertembak. Keberhasilan Soekartijo menaikkan karier militernya, hingga menjadi pemimpin TNI yang paling disegani. Terakhir ia menjabat sebagai Pangdam Udayana, Bali dengan pangkat Letnan Jenderal.
Monumen Kompi Kapten Soewandak
Berlokasi di Klakah, Lumajang. Kapten Soewandak sejatinya seorang Pejuang yang berasal dari Jawa Barat. Ia dikenal sebagai pemuda yang sangat berani dan cerdik. Seluruh anggota yang dipimpinnya berasal dari guru, pegawai, barisan pemuda dan bahkan gerombolan maling. Mereka kemudian dilatih menjadi pasukan gerilya. Di Klakah Soewandak dikenal dengan nama Haris. Pada tahun 1945, Soewandak diangkat menjadi anggota TKR dengan pangkat Letnan Dua dengan jabatan sebagai Ketua Seksi Mortir dan beberapa kali berada di garis depan dalam pertempuran di Surabaya maupun di Sidoarjo. Hanya dalam beberapa bulan bertugas Kapten Soewandak wafat pada bulan Juni 1949 saat beliau melawan tentara Belanda. Beliau dikepung Belanda di markas persembunyiannya di Hutan kecil di lereng gunung Prigi, Sumber Petung Ranuyoso. Tewasnya sangat naas, karena dihujani beberapa kali peluru oleh pasukan Belanda. Tidak puas dengan itu, jasad Kapten Soewandak lantas digranat.
Monumen Joeang Tugu Proklamasi
Berlokasi di Kelurahan Rogotrunan, Lumajang. Monumen ini oleh dahulu oleh masyarakat disebut Monumen Tugu/Monumen Semprong (karena bentuknya seperti Semprong lampu minyak tanah). Pada monumen ini tidak ditemukan tulisan prasasti selain bentuk-bentuk yang melambangkan angka 17-8-45 (tanggal kemerdekaan RI). Awal didirikannya monumen ini menjelang Pemilu Pertama 1955 dan tidak diberi cat warna apapun. Baru menjelang 17 Agustus tahun 2.000 monumen ini dipercantik dengan warna merah putih, hijau lumut dan hijau daun melambangkan kesuburan tanah air RI. Warna Biru Langit untuk silinder polos yang menjulang tinggi sebagai harapan, cita-cita Bangsa Indonesia
Monumen Regentschap Loemadjang
Monumen ini dibangun oleh bupati pertama Lumajang pada tahun 1929 dengan maksud untuk memperingati pertama kalinya Lumajang menjadi kabupaten yang sebelumnya menjadi bagian dari Kabupaten Probolinggo. Lumajang diresmikan menjadi kabupaten oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1929. Berdasarkan Staatsplad No.319 yang pertama kali menjabat Bupati Lumajang adalah R.Kertoadiredjo. Monumen ini sudah di pugar aslinya dalam bentuk stupa hasli karya seniman dari tempeh yang bernama Sulamun.
Jadi seperti inilah sejarah perjuangan lumajang.. :) bye guys..
Jadi seperti inilah sejarah perjuangan lumajang.. :) bye guys..
ConversionConversion EmoticonEmoticon