Helo guys... sudah lama sobat blogger semua tidak membaca postingan menarik saya..yah berhubung saya masih sibuk mengurusi dunia nyata dan dunia hayalan saya.Oke sekarang admin memiliki sebuah cerpen yang dikarang sendiri oleh teman admin.Mungkin sobat semua membutuhkan inspirasi untuk membuat cerpen.Oke check it out..
Menunggu
Oleh: Jazilia
Mukaromatul Jannah
Inspirasi:
Pengalaman orang lain
Hari mulai gelap. Perlahan- lahan sang mentari mulai menyembunyikan
sinarnya yang telah seharian menyinari dunia. Burung-burung pun terbang kembali ke peraduannya. Ku lirik jam tangan hitam yang melingkari pergelangan tangan kiriku dengan perasaan campur aduk. Kesal, bingung, gelisah. Ku perhatikan
keadaan sekelilingku. Sudah sepi, bangku-bangku ditaman termenung
sendiri. Detik, menit,
bahkan berjam-jam ku lewatkan sia-sia. Aku bahkan lupa sudah berapa lama aku duduk terdiam seperti itu. Aku ingin
segera beranjak pergi, kalau saja aku tidak ingat janjiku untuk menunggu.
Ku dengar derap langkah mendekat dan kupalingkan
wajahku menuju sumber suara. Kulihat dia, berdiri membungkuk sambil menopangkan
kedua tangan di lututnya. Napasnya memburu, aku langsung tahu bahwa dia baru saja
berlari.
“Ma, maaf aku terlambat!“ Susah payah dia mengucapkan kata-kata itu. Tampak butiran peluh yang meleleh di sisi kiri dan kanan wajahnya, tanda bahwa dia sangat lelah. Namun aku terlalu kesal untuk bersimpati. Aku beranjak bangun dari posisi dudukku dan berkata dengan nada dingin, “Cepatlah, aku mau pulang.“
“Ma, maaf aku terlambat!“ Susah payah dia mengucapkan kata-kata itu. Tampak butiran peluh yang meleleh di sisi kiri dan kanan wajahnya, tanda bahwa dia sangat lelah. Namun aku terlalu kesal untuk bersimpati. Aku beranjak bangun dari posisi dudukku dan berkata dengan nada dingin, “Cepatlah, aku mau pulang.“
Lewat ekor mataku, kulihat dia menatapku
dengan sedih. Dia seka peluhnya dengan tangan, lalu mulai berjalan mendekatiku yang telah
mendahuluinya.
“Sudah berapa lama kamu menunggu?“ Tanyanya.
“Terlalu sebentar sampai-sampai aku lupa berapa lama persisnya.“
“Oh... Maafkan aku. Banyak hal yang harus aku selesaikan tadi...“
“Aku tahu.“
Hening. Hanya langkah kaki kami yang terdengar dan juga suara dedaunan yang bergoyang di terpa angin. Aku tenggelam dalam kekesalanku sementara ia tenggelam dalam penyesalannya. Kalau saja ini bukan hari terakhir kami bertemu, aku pasti sudah menolak mentah-mentah untuk menunggunya. Berpisah selama seminggu bukanlah waktu yang singkat. Sudah bisa kubayangkan bagaimana sepinya hariku tanpa dirinya, akan terasa bagaikan langit tak berbintang.
Tak terasa kami berdua sudah sampai di depan pintu rumahku. Beginilah rutinitas kami hari ini, aku menunggunya pulang dari kegiatan klub, kemudian dia akan mengantarku pulang. Aku masih terlalu kesal untuk berbicara padanya, karena itu aku langsung menghambur masuk ke halaman rumah. Namun dia lebih cepat. Dicekalnya lenganku, membuatku mau tak mau membalikkan badan dan menatap wajahnya.
“Aku akan berangkat besok. Ingatkah kau?“ Tanyanya lirih. Mungkin cuma perasaanku saja, tapi kulihat sepasang matanya tengah berkaca-kaca.
“Tak mungkin kulupakan.“ Jawabku ketus.
Dia longgarkan cekalan tangannya, lalu ganti menggenggam lembut tanganku.
“Aku tahu kamu masih marah padaku. Tapi aku mohon, doakanlah aku. Tanpa itu, aku tak akan berhasil.“ Pintanya.
Aku menelan ludah. Hati kecilku merasa iba, tapi egoku terasa lebih nyata. Rasa pedih di dadaku akibat merasa diabaikan kembali menyerang. Ku kembali teringat bagaimana sepinya tadi saat ku sedang menungguinya. Teringat entah berapa janji bertemu yang kami batalkan, hanya karena dia sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan klubnya. Juga belasan panggilan tak terjawab dan pesan singkat tak terbalas yang ku alamatkan pada nomor ponselnya.
“Sudah berapa lama kamu menunggu?“ Tanyanya.
“Terlalu sebentar sampai-sampai aku lupa berapa lama persisnya.“
“Oh... Maafkan aku. Banyak hal yang harus aku selesaikan tadi...“
“Aku tahu.“
Hening. Hanya langkah kaki kami yang terdengar dan juga suara dedaunan yang bergoyang di terpa angin. Aku tenggelam dalam kekesalanku sementara ia tenggelam dalam penyesalannya. Kalau saja ini bukan hari terakhir kami bertemu, aku pasti sudah menolak mentah-mentah untuk menunggunya. Berpisah selama seminggu bukanlah waktu yang singkat. Sudah bisa kubayangkan bagaimana sepinya hariku tanpa dirinya, akan terasa bagaikan langit tak berbintang.
Tak terasa kami berdua sudah sampai di depan pintu rumahku. Beginilah rutinitas kami hari ini, aku menunggunya pulang dari kegiatan klub, kemudian dia akan mengantarku pulang. Aku masih terlalu kesal untuk berbicara padanya, karena itu aku langsung menghambur masuk ke halaman rumah. Namun dia lebih cepat. Dicekalnya lenganku, membuatku mau tak mau membalikkan badan dan menatap wajahnya.
“Aku akan berangkat besok. Ingatkah kau?“ Tanyanya lirih. Mungkin cuma perasaanku saja, tapi kulihat sepasang matanya tengah berkaca-kaca.
“Tak mungkin kulupakan.“ Jawabku ketus.
Dia longgarkan cekalan tangannya, lalu ganti menggenggam lembut tanganku.
“Aku tahu kamu masih marah padaku. Tapi aku mohon, doakanlah aku. Tanpa itu, aku tak akan berhasil.“ Pintanya.
Aku menelan ludah. Hati kecilku merasa iba, tapi egoku terasa lebih nyata. Rasa pedih di dadaku akibat merasa diabaikan kembali menyerang. Ku kembali teringat bagaimana sepinya tadi saat ku sedang menungguinya. Teringat entah berapa janji bertemu yang kami batalkan, hanya karena dia sibuk mempersiapkan diri untuk kegiatan klubnya. Juga belasan panggilan tak terjawab dan pesan singkat tak terbalas yang ku alamatkan pada nomor ponselnya.
“Akan kudoakan sebelum tidur nanti.“
Mendengar itu, dia tersenyum. Dia mendekat, lalu memelukku.
Mendengar itu, dia tersenyum. Dia mendekat, lalu memelukku.
“Tunggu aku, ya. Aku akan sangat merindukanku.“
Aku mendesah. Lagi-lagi dia memintaku menunggu.
Aku mendesah. Lagi-lagi dia memintaku menunggu.
***
Ku lewati hari-hari tanpa dia. Aku
merindukannya, tapi besarnya egoku mengalahkan besarnya rasa rinduku, sehingga
aku melupakan permintaan dia untuk selalu mendoakannya. Besok adalah waktunya
dia kembali. Aku menunggunya, meskipun masih kesal. Tapi Tuhan berkehendak lain. Keesokan harinya aku
mendapat kabar yang mengejutkan.
Aku tak pernah merasa terguncang seperti ini sebelumnya. Pertama kali diberitahu lewat telepon, aku
hanya terpaku, sementara temanku menangis tersedu-sedu. Aku tak bisa memercayai pendengaranku
sendiri. Tak mungkin, tak mungkin dia mengalami hal seburuk itu. Sudah sering dia bepergian untuk hal
semacam ini, dan selalu pulang kembali dengan selamat. Dia akan memelukku
begitu kami bertemu, dan kemudian menceritakan pengalamannya dengan penuh semangat...
Namun kini, aku hanya bisa melihatnya berbaring tak berdaya. Selang dan kabel-kabel entah apa saling menyilang, seolah memperumit keadaan. Monitor di sampingnya tidak banyak membantu, hanya mengeluarkan bunyi pelan seakan mengejek atas kesalahan yang ku lakukan. Aku teringat akan sikap egoisku sehari sebelum keberangkatannya, serta kealpaanku untuk mendoakan keselamatan dan keberhasilan untuknya.
Oh Tuhan, apa yang telah kulakukan?
Aku teringat peluhnya yang menetes kala ia berlari menghampiriku hari itu. Kini, air matakulah yang menetes tak henti-henti. Teringat pada genggaman lembut tangannya saat dia memintaku mendoakannya. Kini, tangan itu hanya mampu tergolek lemah di sisi tubuhnya.
“Maafkan aku, maafkan aku.“ Tangisku.
Seolah mampu mendengar ratapanku, tangan lemah itu bergerak pelan. Diikuti kedua matanya yang perlahan membuka. Mata kami saling bertatapan.
“Kau... menangis?“
Tangan itu menyentuh pelan sisi wajahku, lalu mengusap air mata yang meleleh. Susah payah dia tersenyum.
“Aku... sudah menunggumu.“
Aku terkesiap. Sesuatu, entah apa, telah membuka mata hatiku. Selama ini bukan dirikulah yang menunggu, melainkan dirinya. Aku memang menunggunya pulang dari kegiatan klub selama berjam-jam, tetapi dia sudah menunggu hampir berbulan-bulan akan datangnya perhatian dan pengertian dari diriku. Baru sekarang aku ingat, tak pernah sekalipun aku menyemangatinya, memastikan dirinya makan dengan teratur, atau bahkan sekedar menyeka peluhnya yang menetes kala rasa lelah menyergap dirinya. Tak pernah ingat aku berdoa untuk kesuksesannya, kala ia tengah berjuang demi masa depannya. Namun begitu, dia tak pernah mengeluh padaku. Justru akulah yang selalu bersikap egois dan bertingkah konyol. Dan yang aku dapat adalah senyuman manis dari bibirnya.
Tangisku meledak. Ku genggam tangannya erat-erat seolah tak ingin melepaskannya.
“Aku tak akan meninggalkanmu. Aku akan menunggu sampai kapanpun.“
“Aku tahu.“
_______
Nah segitu dulu ya.. Terima kasih admin ucapkan kepada Jazilia... :D
Likenya rek..
ConversionConversion EmoticonEmoticon